PENYAKIT HATI MENURUT AL QUR'AN DAN HADITS
Setiap anggota
tubuh diciptakan untuk suatu fungsi tertentu. Maka ia disebut sedang
dalam keadaan sakit apabila tak lagi memiliki kemampuan untuk
melaksanakan fungsinya itu, baik secara keseluruhan ataupun sebagiannya
saja.
Penyakit tangan menyebabkan tangan tak mampu melaksanakan
fungsinya, yaitu memegang. Sedangkan penyakit mata menyebabkan mata tak
mampu melaksanakan fungsinya, yaitu melihat.
Demikian pula penyakit
hati, menyebabkan hati tak mampu melakukan fungsinya yang khas, yang
memang itu diciptakan untuknya. Yaitu, pengetahuan, hikmah, ma’rifah,
cinta kepada Allah, beribadah untuk dan kepada-Nya, merasakan kenikmatan
apabila menyebut atau mengingat-Nya, mengutamakan-Nya di atas segala
keinginan selain-Nya, serta mengerahkan semua dorongan jiwa dan anggota
tubuh demi melaksanakan semua itu. Firman Allah SWT :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariat: 56)
Ø Penyakit Hati dan Cara Mengobatinya
Hati yang dalam bahasa Arab berarti Qalbun adalah bagian yang sangat
penting pada manusia. Jika hati kita baik, maka baik pula seluruh amal
kita:
Rasulullah saw. bersabda, “….Bahwa dalam diri setiap manusia
terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh
amalnya, dan apabila ia itu rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya.
Gumpalan daging itu adalah hati.” (HR Imam Al-Bukhari)
Sebaliknya, orang yang dalam hatinya ada penyakit, sulit menerima kebenaran dan akan mati dalam keadaan kafir.
وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ
“Orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat
itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya yang telah ada
dan mereka mati dalam keadaan kafir.” [At Taubah 125]
Oleh karena
itu penyakit hati jauh lebih berbahaya daripada penyakit fisik, maka
kita perlu mengenal beberapa penyakit hati yang berbahaya serta
bagaimana cara menyembuhkannya.
1. Sombong
Sering orang
karena jabatan, kekayaan, atau pun kepintaran akhirnya menjadi sombong
dan menganggap rendah orang lain. Bahkan Fir’aun yang takabbur
sampai-sampai menganggap rendah Allah dan menganggap dirinya sebagai
Tuhan. Kenyataannya Fir’aun adalah manusia yang akhirnya bisa mati
karena tenggelam di laut.
Allah melarang kita untuk menjadi sombong:
وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولا
“Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali
kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” [Al Israa’ 37]
Ÿوَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqman
18]
Allah menyediakan neraka jahannam bagi orang yang sombong:
ادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ
“Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di
dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong
.” [Al Mu’min 76]
Kita tidak boleh sombong karena saat kita lahir
kita tidak punya kekuasaan apa-apa. Kita tidak punya kekayaan apa-apa.
Bahkan pakaian pun tidak. Kecerdasan pun kita tidak punya. Namun karena
kasih-sayang orang tua-lah kita akhirnya jadi dewasa. Begitu pula saat
kita mati, segala jabatan dan kekayaan kita lepas dari kita. Kita
dikubur dalam lubang yang sempit dengan pakaian seadanya yang nanti akan
lapuk dimakan zaman.
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin
menyatakan bahwa manusia janganlah sombong karena sesungguhnya manusia
diciptakan dari air mani yang hina dan dari tempat yang sama dengan
tempat keluarnya kotoran.
Bukankah Allah mengatakan pada kita bahwa kita diciptakan dari air mani yang hina.
“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?” [Al Mursalaat 20]
Saat hidup pun kita membawa beberapa kilogram kotoran di badan kita. Jadi bagaimana mungkin kita masih bersikap sombong?
2. Dusta
Adapun Al-Kadzib (kebohongan), maka perbuatan ini akan mengantarkan
pada kejahatan, yaitu berpalingnya dari sifat istiqamah. Ada juga yang
mengatakan bahwa kebohongan adalah kemaksiatan yang paling cepat
menyebar. Tentang tercelanya membicarakan segala sesuatu yang ia dengar,
Rasulullah bersabda, “Cukuplah seseorang dianggap pendusta jika ia
selalu membicarakan segala sesuatu yang ia dengar”. (HR. Muslim 1/10)
Abdullah bin ‘Amr berkata, “Rasulullah pernah datang ke rumah kami,
waktu itu aku masih kecil, akupun keluar utk bermain. Ibuku kemudian
memanggil, “Ya Abdullah kemari, nanti akan ibu beri sesuatu”. Maka
Rasulullah bertanya: “Apa yang akan kamu berikan?” Dia mejawab, “Saya
akan memberi kurma”. Rasulullah kemudian bersabda, “Seandainya engkau
tak melakukan (apa yang engkau katakan), berarti telah dicatat atasmu
satu kedustaan.” (HR. Abu Daud no. 4991)
Nabi bersabda, “Seseorang
yang senantiasa & terbiasa dgn dusta akan dicatat di sisi Allah
ta’ala sebagai pendusta.” (HR. Bukhari 10/423, Muslim no. 2606).
Faktor pendorong berbuat dusta :
Motif yang mendorong orang-orang yang memiliki jiwa nista untuk melakukan kedustaan cukup banyak, diantaranya adalah :
-
Sedikitnya rasa takut kepada Allah Ta’ala dan tidak adanya perasaan
bahwa Allah Ta’ala selalu mengawasi setiap gerak-geriknya, baik yang
kecil maupun yang besar.
- Upaya mengaburkan fakta, baik bertujuan
utk mendapatkan keuntungan atau mengurangi takaran, dgn maksud
menyombongkan diri atau utk memperoleh keuntungan dunia, ataupun karena
motif-motif lainnya. Misalnya saja: orang yang berdusta tentang harga
beli tanah atau mobil, atau menyamarkan data-data yang tidak akurat
tentang wanita yang akan dipinang yang dilakukan pihak keluarganya.
- Mencari perhatian dgn membawakan cerita-cerita fiktif dan perkara-perkara yang dusta.
- Tidak adanya rasa tanggung jawab dan berusaha lari dari kenyataan, baik dlm kondisi sulit ataupun kondisi lainnya.
-
Terbiasa melakukan dusta sejak kecil. Ini merupakan hasil
pendidikan yang buruk. Karena, sejak tumbuh kuku-kukunya (sejak kecil),
sang anak biasa melihat ayah dan ibundanya berdusta, sehingga ia tumbuh
dan berkembang dlm lingkungan sosial semacam itu.
- Merasa bangga
dgn berdusta, ia beranggapan bahwa kedustaan menandakan kepiawaian,
tingginya daya nalar, dan perilaku yang baik.
3. ‘Ujub (kagum akan diri sendiri)
Ini mirip dengan sombong. Kita merasa bangga atau kagum akan diri kita
sendiri. Padahal seharusnya kita tahu bahwa semua nikmat yang kita dapat
itu berasal dari Allah. Jika kita mendapat keberhasilan atau pujian
dari orang, janganlah ‘ujub. Sebaliknya ucapkan “Alhamdulillah” karena
segala puji itu hanya untuk Allah.
Berhati-hatilah
dengan penyakit ujub, sebab jika sudah menjangkit kedalam hati hanya
akan menimbulkan keburukan. Ujub merusak dan menghancurkan amal
kebaikan. Rasulullah SAW bersabda:
ثَلاَثٌ مُهلِكَاتٌ شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوَيً مُتَّبَعٌ وَاِعْجَابُ المَوءِ بِنَفْسِهِ
Artinya : Tiga perkara yang dapat menghancurkan, yaitu :
kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti dan ujub seseorang
terhadap dirinya.
Mula-mula ujub itu hanya berada di dalam hati,
yakni mengganggap dirinya paling mulia, paling segala-galanya dan paling
sempurna dibandingkan orang lain. Karena dengan anggapan yang demikian
itu maka hatinya merasa puas dan bangga atas apa yang dirasa. Kemudian
berkembang menjadi sebuah perkataan yang menggungkapkan tentang
pandangan manusia kepada dirinya sendiri yang mulia. Padahal yang
demikian ini sangat dicela dalam agama dan dibenci Allah, karena
seseorang telah di jangkiti penyakit ujub maka ada sikap meremehkan
dalam berbuat amal, maka tepatlah kiranya jika ujub ini adalah pangkal
kemaksiatan, kelalaian dan kesenangan nafsu untuk merasa puas kepada
dirinya, sedangkan orang yang merasa puas dengan dirinya sendiri karena
menganggap sempurna, maka dia akan buta dengan kelemahan-kelemahan yang
dia miliki.
Ibnu Mas’ud berkata bahwa faktor penyebab keselamatan
manusia itu ada dua perkara, yaitu bertaqwa dan menanamkan niat yang
sungguh-sungguh. Seangkan faktor penyebab kecelakaan atau kebinasaan
juga dua perkara, yaitu putus asa dan membanggakan diri.
Bahaya ujub sebagaimana riya’ merupakan syirik kecil, demikian pula
ujub merupakan syirik kecil juga. Riya’ merupakan syirik dari sisi orang
yang beramal saleh menyertakan orang lain bersama Allah dalam mencari
ganjaran berupa pujian dan sanjungan, sedangkan ujub merupakan
kesyirikan dari sisi orang yang beramal saleh menyertakan dirinya
bersama Allah dalam keberhasilanya beramal saleh, seakan-akan bukan
allah semata yang menjadikanya berhasil beramal saleh akan tetapi ia
juga turut andil dalam keberhasilanya beramal saleh.
كَرَّرَهُ
زِيَادَةً فِي التَّنْفِيْرِ وَمُبَالَغَةً فِي التَّحْذِيْرِ، وَذَلِكَ
لِأَنَّ الْعَاصِي يَعْتَرِفُ بِنَقْصِهِ فَيُرْجَى لَهُ التَّوْبَةُ
وَالْمُعْجَبُ مَغْرُوْرٌ بِعَمَلِهِ فَتَوْبَتُهُ بَعِيْدَة
Artinya : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
mengulangi-ngulanginya (*ujub !, ujub !) sebagai tambahan (penekanan)
untuk menjauhkan (*umatnya) dan sikap berlebih-lebihan dalam
mengingatkan (*umatnya). Hal ini dikarenakan pelaku maksiat mengakui
kekurangannya maka masih diharapkan ia akan bertaubat, adapun orang yang
ujub maka ia terpedaya dengan amalannya, maka jauh/sulit baginya untuk
bertaubat" (At-Taisiir bisyarh Al-Jaami' as-Shoghiir 2/606)
Tanda-tanda terjangkit penyakit ujub :
Menurut Almunaawi Assyafi’i menyebutkan bahwasanya diantara tanda-tanda orang ujub adalah :
1. Dia merasa heran jika doanya tidak dikabulkan oleh Allah. Dia
merasa bahwa ketaqwaanya dan amalanya mengharuskan doanya dikabulkan
oleh Allah hal ini menunjukkan ujubnya dengan amalan saleh karenanya
tatkala doanya tidak dikabulkan merasa heran.
2. Jika orang yang mengganggunya ditimpa musibah, maka dia merasa bahwa itu merupakan karomahnya.
Untuk mengobati penyakit ujub, diantaranya sebagai berikut :
1. Menyadari bahwasanya mampunya kita beramal sholeh adalah semata-mata kemudahan dan karunia dari Allah, firman allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ
بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ
يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan.
Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya
syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.
Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu
sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari
perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah
membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.” [An-Nuur : 21]
2. Banyak ibadah yang agung
yang disyari'atkan untuk diakhiri dengan istighfar. Hal ini agar para
pelaku ibadah-ibadah tersebut tidak merasa ujub dengan ibadah-ibadah
yang telah mereka lakukan, akan tetapi tetap merasa dan sadar bahwa
ibadah yang mereka lakukan tetap ada kekurangannya.
4. Iri dan Dengki
Allah melarang kita iri pada yang lain karena rezeki yang mereka dapat
itu sesuai dengan usaha mereka dan juga sudah jadi ketentuan Allah.
Ÿوَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا
اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa
yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari
pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [An
Nisaa’ 32]
Iri hanya boleh dalam 2 hal. Yaitu dalam hal bersedekah
dan ilmu. “Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua perkara, yakni
seorang yang diberi Allah harta lalu dia belanjakan pada jalan yang
benar, dan seorang diberi Allah ilmu dan kebijaksaan lalu dia
melaksanakan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Jika kita mengagumi
milik orang lain, agar terhindar dari iri hendaknya mendoakan agar yang
bersangkutan dilimpahi berkah. “Apabila seorang melihat dirinya, harta
miliknya atau saudaranya sesuatu yang menarik hatinya (dikaguminya) maka
hendaklah dia mendoakannya dengan limpahan barokah. Sesungguhnya
pengaruh iri adalah benar.” (HR. Abu Ya’la)
Dengki lebih parah dari
iri. Orang yang dengki ini merasa susah jika melihat orang lain senang.
Dan merasa senang jika orang lain susah. Tak jarang dia berusaha
mencelakakan orang yang dia dengki baik dengan lisan, tulisan, atau pun
perbuatan. Oleh karena itu Allah menyuruh kita berlindung dari kejahatan
orang yang dengki:
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
“Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” [Al Falaq 5]
Kedengkian bisa menghancurkan pahala-pahala kita. “Waspadalah terhadap
hasud (iri dan dengki), sesungguhnya hasud mengikis pahala-pahala
sebagaimana api memakan kayu.” (HR. Abu Dawud)
5. Riya’
Riya’ adalah berbuat kebaikan/ibadah dengan maksud pamer kepada manusia,
agar orang mengira dan memujinya sebagai orang yang baik atau gemar
beribadah seperti shalat, puasa, sedekah, dan sebagainya.
Ciri-ciri riya:
“Orang yang riya berciri tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat
tapi bila sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam
segala urusan. Sedangkan orang munafik ada tiga tanda yakni apabila
berbicara bohong, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia
berkhianat.” (HR. Ibnu Babawih).
Orang yang riya’, maka amal perbuatannya sia-sia belaka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ
وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ
تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لا يَقْدِرُونَ عَلَى
شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada
manusia.” [QS. Al-Baqarah: 264]
"Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya,
yang berbuat karena riya.” [Al Maa’uun 4-6]
Imam Al Ghazali
mengumpamakan orang yang riya’ itu sebagai orang yang malas ketika dia
hanya berdua saja dengan rajanya. Namun ketika ada budak sang raja
hadir, baru dia bekerja dan berbuat baik untuk mendapat pujian dari
budak-budak tersebut.
Seperti itulah orang riya’. Ketika hanya
berdua dengan Allah Sang Raja Segala Raja, dia malas dan enggan
beribadah. Tapi ketika ada manusia yang tak lebih dari hamba/budak
Allah, maka dia jadi rajin shalat, bersedekah, dan sebagainya untuk
mendapat pujian para budak.
Agar terhindar dari riya’, kita harus meniatkan segala amal kita untuk Allah ta’ala (Lillahi ta’ala).
6. Bakhil atau Kikir
Bakhil alias Kikir alias Pelit alias Medit adalah satu penyakit hati
karena terlalu cinta pada harta sehingga tidak mau bersedekah.
Ÿ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah
berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu
baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka.
Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di
hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit
dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Ali ‘Imran
180]
Padahal segala harta kita termasuk diri kita adalah milik
Allah. Saat kita lahir kita tidak punya apa-apa. Telanjang tanpa busana.
Saat mati pun kita tidak membawa apa-apa kecuali beberapa helai kain
yang segera membusuk bersama kita.
Sesungguhnya harta yang kita
simpan itu bukan harta kita yang sejati. Saat kita mati tidak akan ada
gunanya bagi kita. Begitu pula dengan harta yang kita pakai untuk hidup
bermegah-megahan seperti beli mobil dan rumah mewah.
“Dan adapun
orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan
pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang
sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.”
[Al Lail 8-11]
Yang justru jadi harta yang bermanfaat bagi kita di
akhirat nanti adalah harta yang kita belanjakan di jalan Allah atau
disedekahkan. Harta tersebut akan jadi pahala yang balasannya adalah
istana surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan
syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
Allah mempunyai karunia yang besar.” [Al Hadiid 21]
KESIMPULAN
Penyakit hati merupakan penyakit di dalam jiwa yang lebih parah dari
penyakit fisik. Karena bilamana hati seseorang sakit, atau bahkan buruk,
maka perilakunya pun demikian. Contoh-contoh penyakit hati seperti :
- Sombong : memamerkan apa yang dia punya padahal sesungguhnya semua yang ada di dunia ini hanya milik Allah.
- Dusta : kebohonganlah yang akan membawa seseorang pada kejahatan.
-
‘Ujub : mula-mula ujub itu hanya berada di dalam hati, yakni
mengganggap dirinya paling mulia, kemudian berkembang menjadi sebuah
perkataan yang menggungkapkan tentang pandangan manusia kepada dirinya
sendiri yang mulia. Padahal yang demikian ini sangat dicela dalam agama
dan dibenci Allah, karena seseorang telah di jangkiti penyakit ujub maka
ada sikap meremehkan dalam berbuat amal.
- Iri dan dengki : iri hanya boleh dalam 2 hal. Yaitu dalam hal bersedekah dan ilmu.
-
Riya’ : berbuat kebaikan/ibadah dengan maksud pamer kepada
manusia, agar orang mengira dan memujinya sebagai orang yang baik atau
gemar beribadah seperti shalat, puasa, sedekah, dan sebagainya.
- Bakhil dan kikir : satu penyakit hati karena terlalu cinta pada harta sehingga tidak mau bersedekah.
Barkallahu fikum _.
Di Salin pada khazanah Islam